Pertanyaan:
Mohon penjelasan riwayat
shalat tasbih yang tercantum dalam kitab I’anatuth Thalibin, hal.
259 dan dalam kitab Nihayatuz Zain, hal. 115
Jawaban:
Tentang shalat tasbih yang ditanyakan, nash
haditsnya adalah sebagai berikut,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ
المُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعطِيْكُ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ
أَحَبُوِكَ أَلاَ أَفَعَلُ بِـكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْـتَ ذَلِكَ
غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوْلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمـَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطَأَهُ
وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِـيْرَهُ سِـرَّهُ وَعَلاَنِيَـتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ
أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبـَعَ رَكَعَاتٍ تَكْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ
الكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَائَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ
وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُلِ لِلَّهِ وَلاَ إِلَـهَ
إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ
فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا
عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَـاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَـاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ
تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْـجُدُ
فَتَقُولُهَا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ
وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ
اسْتَطَعْتَ أَنْ بُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ
مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَـنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَفِي عُمُركَ مَرَّةً
“Dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib, “Hai Abbas, hai pamanku,
maukah engkau aku beri? Maukah engkau aku kasih? Maukah engkau aku beri hadiah?
Maukah engkau aku ajari sepuluh sifat (pekerti)? Jika engkau melakukannya,
Allah mengampuni dosamu: dosa yang awal dan yang akhir, dosa yang lama dan yang
baru, dosa yang tidak disengaja dan yang disengaja, dosa yang kecil dan yang
besar, dosa yang rahasia dan terang-terangan, sepuluh macam (dosa). Engkau
shalat empat rakaat. Pada setiap rakaat engkau membaca al-Fatihah dan satu
surat (al-Quran). Jika engkau telah selesai membaca (surat) pada awal rakaat,
sementara engkau masih berdiri, engkau membaca, ‘Subhanallah, walhamdulillah,
walaa ilaaha illa Allah, wallahu akbar’ sebanyak 15 kali. Kemudian ruku’, maka
engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu
dari ruku’, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau turun
sujud, ketika sujud engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian
engkau angkat kepalamu dari sujud, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10
kali. Kemudian engkau bersujud, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali.
Kemudian engkau angkat kepalamu, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10
kali. Maka itulah 75 (dzikir) pada setiap satu rakaat. Engkau lakukan itu dalam
empat rakaat. Jika engkau mampu melakukan (shalat) itu setiap hari sekali, maka
lakukanlah! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) setiap bulan sekali!
Jika tidak, maka (lakukan) setiap tahun sekali! Jika engkau tidak melakukannya,
maka (lakukan) sekali dalam umurmu.”
Takhrij Hadits
Hadits riwayat Abu Dawud
1297; Ibnu Majah, 1387; Ibnu Khuzaimah, 1216; al-Hakim dalam Mustadrak,1233;
Baihaqi dalam Sunan Kubra, 3/51-52, dan lainnya dari jalan Abdurrahman bin
Bisyr bin Hakam, dari Abu Syu’aib Musa bin Abdul Aziz, dari Hakam bin Abban,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Sanad ini berderajat hasan.
Hadits ini juga memiliki banyak jalan yang
menguatkan, sehingga sangat banyak ulama Ahli Hadits yang menguatkannya. Dalam
riwayat lain disebutkan,
عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ
قَالَ حَدَّثَنِي رَجُل كَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ عَنَّهُ عَبْدُ
اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ائْتِنِي غَدًا اَحءبُوكَ وَأُثِـيْبُكَ وَأَعْطِيْكَ حَتَّى ظَنَنءتُ أَنَّهُ
يُعْطِينِي عَطِيَّة قَالَ إِذَا زَالَ النَّهَارُ فَقثمْ فَصَلّ أَرْبَـعَ
رَكَعَاتٍ فَذَكَرَ نَحَوَهُ قَالَ ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَـكَ يَعْنِي مِنْ
السَّجْدَةِ الثَّالِيَةِ فَاسْتَوِ جَالِسًا وَلاَ تَقثمْ حَتَّى تُسَبِّحَ
عَشْرًا وَتَحْمَدَ عَشْرًا وَتُكَبِّرَ عَشْرًا وَتُهَلِّلَ عَشْرًا ثُمَّ
تَصْنَعَ ذَلِكَ فِي الأَرْبَعِ الرَّكَعَاتِ قَالَ فَإِنَّكَ لَوْكُنْتَ أَعُظَمُ
أَهْلِ الْـأَرْضِ ذَنْبًا غُفِرَ لَكَ بِذَلِكَ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ
أَنْ أُصَلِّيَهَا تِلْكَ الـسَّـاعَةَ قَالَ صَلِّهَا مِنْ اللَّيْـلِ
وَالنَّهَار
“Dari Abul Jauza’, dia
berkata, ‘Telah bercerita kepadaku seorang laki-laki yang termasuk sahabat
Nabi. Orang-orang berpendapat, dia adalah Abdullah bin Amr, dia berkata, ‘Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Datanglah kepadaku besok
pagi. Aku akan memberimu hadiah, aku akan memberimu kebaikan, aku akan
memberimu.’ Sehingga aku menyangka, bahwa beliau akan memberiku suatu pemberian.
Beliau bersabda, ‘Jika siang telah hilang, berdirilah, kemudian shalatlah empat
rakaat’ (Kemudian dia menyebutkan seperti hadits di atas) Beliau bersabda,
‘Kemudian engkau angkat kepalamu –yaitu dari sujud kedua-, lalu duduklah dengan
sempurna, dan janganlah kamu berdiri sampai engkau bertasbih sepuluh kali,
bertahmid sepuluh kali, bertakbir sepuluh kali, dan bertahlil sepuluh kali.
Kemudian engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Sesungguhnya, jika engkau
adalah penduduk bumi yang paling besar dosanya, engkau diampuni dengan sabab
itu.’ Aku (sahabat itu) berkata, ‘Jika aku tidak mampu melakukannya pada saat
itu?’ Beliau menjawab, ‘Shalatlah di waktu malam dan siang.’” (HR. Abu
Dawud, no. 1298).
Juga diriwayatkan Thabarani
dan Ibnu Majah, no. 1386, pada akhir hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
فَلَوْ كَانَتْ ذُنُوْبُكَ
مِثْلَ رَمْلِ عَالِجٍ غَفَرَهَا اللهُ لَكَ
“Seandainya dosa-dosamu
semisal buih lautan atau pasir yang bertumpuk-tumpuk, Allah mengampunimu.”
(Dishahihlan al-Albani dalam Shahih at-Targhib Wat Tarhib, 1/282).
Ulama yang Melemahkan
Hadits Shalat Tasbih
Sebagian ulama melemahkan hadits shalat
tasbih. Di bawah ini di antara ulama yang melemahkan tersebut:
1. Ketika
mengomentari hadits shalat tasbih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Abu Bakar
Ibnul A’rabi berkata, “Hadits Abu Rafi’ ini dha’if, tidak memiliki
asal di dalam (hadits) yang shahih dan yang hasan. Imam Tirmidzi menyebutkannya
hanyalah untuk memberitahukannya agar orang tidak terpedaya dengannya.” (Tuhfzatul
Ahwadzi Syarh Tirmidzi, al-Adzkar karya an-Nawawi, hal.
168).
2. Abul
Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan hadits-hadits shalat tasbih dan
jalan-jalannya, di dalam kitab beliau al-Maudhu’at, kemudian
men-dha’if-kan semuanya dan menjelaskan kelemahannya.
3. Imam
adz-Dzahabi rahimahullah menganggapnya termasuk hadits munkar
(Mizanul I’tidal, 4/213. Dinukil dari Mukhtashar Minhajul
Qashidin, hal. 32, tahqiq Syaikh Abdullah al-Laitsi
al-Anshari).
Ulama yang Menguatkan
Namun, sejumlah ulama besar Ahli Hadits telah
menguatkan menshahihkan hadits shalat tasbih, di antaranya:
1.
Ar-Ruyani rahimahullah berkata dalam kitab al-Bahr, di akhir
kitab al-Janaiz, “Ketahuilah, bahwa shalat tasbih dianjurkan,
disukai untuk dilakukan dengan rutin setiap waktu, dan janganlah seseorang
lalai darinya.”
2. Ibnul
Mubarak. Beliau ditanya, “Jika seseorang lupa dalam shalat tasbih, apakah dia
bertasbih dalam dua sujud sahwi 10, 10 (sepuluh, sepuluh)?” Beliau menjawab,
“Tidak, Shalat tasbih itu hanyalah 300 (tiga ratus) tasbih.” Dalam riwayat ini,
Ibnul Mubarak tidak mengingkari shalat tasbih, yang menunjukkan bila beliau
membenarkannya (Al-Adzkar, hal. 169). Imam Tirmidzi rahimahullah berkata,
“Ibnul Mubarak dan banyak ulama berpendapat (disyariatkannya) shalat tasbih dan
mereka menyebutkan kautamaannya.” (Al-Adzkar, hal. 167).
3.
Al-Hafizh al-Mundziri (wafat 656 H) berkata, “Hadits ini telah
diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi, dan yang paling baik ialah hadits
Ikrimah ini. Dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, di antaranya
al-Hafizh Abu Bakar al-Aajuri, Syaikh kami al-Hafizh Abul Hasan al-Maqdisi,
semoga Allah merahmati mereka. Abu Bakar bin Abu Dawud berkata, “Aku mendengar
bapakku berkata, ‘Tidak ada hadits shahih dalam shalat tasbih, kecuali ini’.”
Muslim bin al-Hajjaj berkata, “Tidaklah diriwayatkan di dalam hadits ini sanad
yang lebih baik dari ini (yakni isnad hadits Ikrimah dari Ibnu
Abbas).” (Shahih at-Targhib wat Targhib, 1/281, karya al-Mundziri, tahqiq al-Albani).
4. Imam
Nawawi rahimahullah (wafat 676 H), beliau membuat satu bab,
Bab: Dzikir-dzikir Shalat Tasbih, di dalam kitabnya al-Adzkar, hal.
166. Beliau juga menyebutkan perselisihan para ulama tentang hadits-hadits
shalat tasbih, dan beliau termasuk ulama yang menyatakan disyariatkannya shalat
tasbih.
5. Imam
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 689 H) berkata, “Disukai
untuk melakukan shalat tasbih.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal.
47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).
6. Syaikh
as-Sindi (wafat 1138 H) berkata, “Hadits ini (shalat tasbih) telah dibicarakan
oleh huffazh(para ulama ahli hadits). Yang benar, bahwa hadits ini
hadits tsabit (kuat). Sepantasnya orang-orang mengamalkannya.
Orang-orang telah menyebutkannya panjang lebar, dan aku telah menyebutkan
sebagian darinya dalam catatan pinggir kitab (Sunan) Abu Dawud dan catatan
pinggir kitab al-Adzkar karya an-Nawawi.” (Ta’liq dalam Sunan
Ibnu Majah, 1/442).
7. Syaikh
al-Albani rahimahullah menshahihkan hadits shalat tasbih ini
dalam kitab Shahih at-Targhib Wat Targhib, 1/281.
8. Syaikh
Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari berkata mengomentari perkataan Ibnu Qudamah
di atas, “Banyak ulama telah menshahihkan isnad hadits shalat tasbih, dan
lihatlah (kitab al-Atsar al-Marfu’ah Fil Akhbar al-Maudhu’ah, hal.
123-143, karya al-Laknawi rahimahullah. Beliau telah
mengumpulkan hal itu dengan sangat banyak.” (Catatan kaki Mukhtashar
Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).
9. Syaikh
Salim al-Hilali menshahihkan hadits shalat tasbih dalam kitab beliau Mukaffiratudz
Dzunub.
10.
Syaikh Abu Ashim Abdullah ‘Athaullah berkata, “Riwayat Abu Dawud;
Timidzi; Ibnu Majah; Abdur Razzaq di dalam al-Mushannaf; al-Baihaqi
dalam as-Sunan; dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak;
(derajat hadits) shahih li ghairihi.” (I’lamul Baraya Bi
Mukaffiratil Khathaya., hal. 40, taqdim: Syaikh Mushthafa
al-Adawi).
11. Selain para ulama di
atas, yang juga termasuk menshahihkan hadits shalat tasbih ini ialah Imam
Daruquthni, Ibnu Mandah, al-Khathib al-Baghdadi, Ibnu shalah, Ibnu Hajar al-Asqalani,
as-Suyuthi, Syaikh Ahmad Syakir, dan lainnya.
Kesimpulan
1.
Derajat hadits shalat tasbih adalah shahih li ghairihi, sehingga
dapat diamalkan. Adapun para ulama men-dha’if-kannya atau menyatakan
bahwa hadits shalat tasbih adalah palsu, karena tidak mendapatkan hadits yang
kuat sanadnya. Tetapi, hal ini bukan berarti seluruh sanad hadits shalat tasbih
tidak shahih. Karena sebagiannya yang berderajat hasan, kemudian dikuatkan
jalan lainnya, sehingga meningkat menjadishahih li ghairihi. Wallahu a’lam.
2. Shalat tasbih hukumnya
sunnah, bukan wajib sebagaimana anggapan sebagian orang.
3. Cara shalat tasbih
sebagaimana hadits di atas.
4. Shalat
tasbih dilakukan 4 rakaat dengan satu salam, sesuai dengan zhahir hadits. Ada
juga sebagian ulama yang menyatakan dengan dua salam. Wallahu a’lam.
5. Waktunya boleh siang
ataupun malam.
Bid’ah Seputar Shalat
Tasbih
Syaikh Salim al-Hilali
dalam kitab beliau Mukaffiratudz Dzunub, menyebutkan tiga bid’ah
berkaitan dengan shalat tasbih ini, yaitu:
1. Mengkhususkan pada bulan
Ramadhan, atau mengkhususkannya pada tanggal 27 Ramadhan.
2. Melakukan secara
berjama’ah.
3. Melakukan sehari lebih
dari sekali. (Selain bid’ah di atas, ada juga bid’ah lainnya, seperti:)
4.
Sebagian kaum muslimin ada yang melakukan setiap selapan (istilah
Jawa, yaitu 35 hari) sekali.
Tambahan
Apa yang disebutkan dalam
kitab Nihayatuz Zain, hal. 115, bahwa surat yang paling utama
dibaca dalam shalat tasbih adalah permulaan surat al-Hadid, al-Hasyr, ash-Shaf,
dan ath-Thaghabun. Jika tidak, maka surat al-Zalzalah, al-‘Adiyat, al-Haakum,
dan al-Ikhlas, maka kami tidak mengetahui dalil yang jelas tentang hal
ini. Wallahu a’lam.
Demikian juga apa yang
dinukil di dalam I’anathuth Thalibin, hal. 259 dari perkataan
Imam Suyuthi, bahwa surat yang dibaca adalah al-Haakum, al-‘Ashr, al-Kafirun
dan al-Ikhlas, kami tidak mengetahui dalil yang jelas tentang hal ini.
Sedangkan di dalam hadits di atas, Rasulullah tidaklah mengkhususkan dengan
surat tertentu. Demikianlah penjelasan kami, semoga bermanfaat. Wallahu
a’lam.
Sumber: Majalah As-Sunnah,
Edisi 11 Tahun VII, 1424 H – 2003 M
Dipublikasikan dengan pengubahan tata bahasa seperlunya oleh redaksi www.konsultasiSyariat.com